E mail :
fkdt.cidadap@gmail.com
Web Blog :
fkdtcidadap.blogspot.com
Facebook :
FKDT Cidadap Kota Bandung
Saturday, May 17, 2014
PP TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN
PENDIDIKAN
KEAGAMAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan
Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1.
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk
sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran
agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2.
Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk
dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran
agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
3.
Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada
semua jalur dan jenjang pendidikan.
4.
Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam
berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara
terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
5.
Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan
nonformal.
6.
Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan
nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
7. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan
Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
8. Shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu
yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada
Si Shu Wu Jing.
9.
Tempat pendidikan agama adalah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan
pendidikan agama.
10.
Rumah ibadah adalah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat
beribadah warga satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum.
11.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendidikan.
12.
Menteri Agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang agama.
BAB II
PENDIDIKAN AGAMA
Pasal 2
PENDIDIKAN AGAMA
Pasal 2
(1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia
Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat
beragama.
(2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya
kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai
agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni.
Pasal 3
(1) Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
(2) Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh
Menteri Agama.
Pasal 4
(1) Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program
pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata
pelajaran atau mata kuliah agama.
(2) Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai
agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(3)
Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
(4)
Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan
pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bekerja sama dengan
satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di
masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
(5)
Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik
untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta
didik.
(6)
Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat
digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
(7)
Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun
rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan
pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 5
(1)
Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2)
Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta
didik.
(3)
Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya
dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan
moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(4)
Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat di antara
sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5)
Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan
berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri,
kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6)
Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga
menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7)
Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi
untuk hidup sukses.
(8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan
agama sesuai kebutuhan.
(9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat
berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Pasal 6
(1) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah disediakan oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang
bersangkutan.
(3) Dalam hal satuan pendidikan tidak dapat menyediakannya,
maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyediakannya sesuai
kebutuhan satuan pendidikan.
Pasal 7
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1), Pasal 4 ayat (2) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan
pembinaan/pembimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk:
a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri
setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama;
b. satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh
bupati/walikota setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota.
c. satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan
oleh pemerintah daerah menjadi bertaraf internasional dilakukan oleh kepala
pemerintahan daerah yang mengembangkannya setelah memperoleh pertimbangan dari
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau Kepala Kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5, serta tentang pendidik pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri Agama.
BAB III
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 8
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 8
(1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai
ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya
peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif,
inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9
(1) Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
(2) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(3) Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh
Menteri Agama.
Pasal 10
(1) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan
ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama.
(2) Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari
ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan
ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik
pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang
lainnya pada jenjang berikutnya.
Pasal 11
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang
pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang
setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
(2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau
informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal
keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
(3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal,
dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan
dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis
pendidikan yang lainnya.
Pasal 12
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan
sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
(2) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan
pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan
nasional.
(3) Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang,
melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(4) Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari
Menteri Agama.
Pasal 13
(1) Pendidikan keagamaan dapat berbentuk satuan atau
program pendidikan.
(2) Pendidikan keagamaan dapat didirikan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(3) Pendirian satuan pendidikan keagamaan wajib
memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. isi pendidikan/kurikulum;
b. jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan;
b. jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan;
c. sarana dan prasarana yang memungkinkan
terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
d. sumber pembiayaan untuk kelangsungan program
pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik
berikutnya;
e. sistem evaluasi; dan
f. manajemen dan proses pendidikan.
f. manajemen dan proses pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat-syarat
pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatur dengan Peraturan Menteri Agama
dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
(6) Pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak
berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 (lima belas) orang
atau lebih merupakan program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Bagian Kesatu
Pendidikan Keagamaan Islam
Pasal 14
Pendidikan Keagamaan Islam
Pasal 14
(1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan
diniyah dan pesantren.
(2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
(3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau
berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan
informal.
Paragraf 1
Pendidikan Diniyah Formal
Pasal 15
Pendidikan Diniyah Formal
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan
ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 16
(1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan
dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah
menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan
pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga)
tingkat.
(3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara
pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 17
(1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan
diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.
(2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih
tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai
peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan
diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar
atau yang sederajat.
(4) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan
diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah
pertama atau yang sederajat.
Pasal 18
(1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib
memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan
ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
(2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib
memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika,
ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19
(1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah
diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik
atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional
pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri
Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 20
(1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi
dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk
universitas, institut, atau sekolah tinggi.
(2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain
menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan
dan bahasa Indonesia.
(3)
Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang
dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks).
(4)
Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan
Standar Nasional Pendidikan.
Paragraf 2
Pendidikan Diniyah Nonformal
Pasal 21
Pendidikan Diniyah Nonformal
Pasal 21
(1)
Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab,
Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur'an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang
sejenis.
(2)
Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk
satuan pendidikan.
(3)
Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib
mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi
ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Pasal 22
(1) Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka
mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam.
(2) Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan
secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren,
masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 23
(1) Majelis Taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan
untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia
peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
(2) Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan
mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur'an dan Hadits sebagai dasar untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlak mulia.
(3) Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau
tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 24
(1) Pendidikan Al-Qur'an bertujuan meningkatkan kemampuan
peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Al Qur'an.
(2) Pendidikan Al-Qur'an terdiri dari Taman Kanak-Kanak
Al-Qur'an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ), Ta'limul Qur'an lil Aulad
(TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
(3) Pendidikan Al-Qur'an dapat dilaksanakan secara
berjenjang dan tidak berjenjang.
(4) Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur'an dipusatkan di
masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat.
(5) Kurikulum pendidikan Al-Qur'an adalah membaca,
menulis dan menghafal ayat-ayat Al Qur'an, tajwid, serta menghafal doa-doa
utama.
(6) Pendidik pada pendidikan Al-Qur'an minimal lulusan
pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Al-Qur'an
dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Al-Qur'an.
Pasal 25
(1) Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi
pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau
di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta
didik kepada Allah SWT.
(2) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan
secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di
masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat.
(4) Penamaan atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan
penyelenggara.
(5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan
secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Paragraf 3
Pesantren
Pasal 26
Pesantren
Pasal 26
(1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan
menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi
pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta
didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi
muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang
Islami di masyarakat.
(2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau
secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
(3) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui
keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal
dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi
sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pendidikan Keagamaan Kristen
Pasal 27
Pendidikan Keagamaan Kristen
Pasal 27
(1) Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada
jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal
diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 28
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur
pendidikan formal jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak
penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 29
(1) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan dasar
adalah Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK) dan Sekolah Menengah Pertama
Teologi Kristen (SMPTK).
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan
menengah adalah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) dan Sekolah Menengah
Teologi Kristen (SMTK) atau yang sederajat, yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada
pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus berijazah SMP atau yang
sederajat.
(4) Pengelolaan SMAK dan SMTK diselenggarakan oleh
Pemerintah, gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(5) Kurikulum SMAK dan SMTK memuat bahan kajian tentang
agama/teologi Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(6) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan
moral merupakan kewenangan gereja dan/atau kelembagaan Kristen.
Pasal 30
(1) Pendidikan tinggi keagamaan Kristen diselenggarakan
oleh gereja dan atau lembaga keagamaan Kristen.
(2) Pendidikan keagamaan jenjang pendidikan tinggi
diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) dan Sekolah
Tinggi Teologi (STT) atau bentuk lain yang sejenis.
(3) STAK, STT atau bentuk lain yang sejenis dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(4) Penamaan satuan jenjang pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen merupakan hak
penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Isi/materi kurikulum menyangkut iman dan moral
pendidikan keagamaan Kristen/Teologi jenjang pendidikan tinggi merupakan
kewenangan gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(6) Untuk dapat diterima sebagai mahasiswa pada
pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus berijazah SMA atau yang
sederajat.
Bagian Ketiga
Pendidikan Keagamaan Katolik
Pasal 31
Pendidikan Keagamaan Katolik
Pasal 31
(1)
Pendidikan keagamaan Katolik diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal.
(2)
Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur pendidikan formal diselenggarakan pada
jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur formal dibina
oleh Menteri Agama.
Pasal 32
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jalur
pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak
penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 33
(1) Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah
merupakan Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) atau yang sederajat yang
terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dibina
oleh Menteri Agama.
Pasal 34
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan
menengah keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMP atau yang sederajat.
Pasal 35
(1) Kurikulum pendidikan keagamaan Katolik memuat bahan
kajian tentang agama Katolik dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(2) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan
moral merupakan wewenang gereja Katolik dan/atau Uskup.
Pasal 36
Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Katolik tingkat
menengah dilakukan oleh gereja Katolik/keuskupan.
Pasal 37
(1) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan
tinggi diselenggarakan oleh gereja Katolik/keuskupan.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan
tinggi merupakan satuan pendidikan tinggi keagamaan yang mendapat ijin dari
Menteri Agama.
(3) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan
tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Pastoral/Kateketik/Teologi
atau bentuk lain yang sejenis dan sederajat.
(4) Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jenjang
pendidikan tinggi merupakan hak penyelenggara yang bersangkutan.
(5) Isi dan/atau materi kurikulum yang menyangkut iman
dan moral pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan
kewenangan gereja Katolik.
(6) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada
pendidikan tinggi keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMA atau
sederajat.
Bagian Keempat
Pendidikan Keagamaan Hindu
Pasal 38
Pendidikan Keagamaan Hindu
Pasal 38
(1)
Pendidikan keagamaan Hindu merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang
diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.
(2)
Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Hindu dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur
formal, dan nonformal.
(4) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal
setingkat TK disebut Pratama Widya Pasraman, yaitu tingkat Pratama Widya
Pasraman A (TK A) dan tingkat Pratama Widya Pasraman B (TK B).
(5) Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang
pendidikan dasar setingkat SD disebut Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam)
tingkat.
(6) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang
pendidikan dasar setingkat SMP disebut Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3
(tiga) tingkat.
(7) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang
pendidikan menengah setingkat SMA disebut Utama Widya Pasraman terdiri atas 3
(tiga) tingkat.
Pasal 39
(1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
(Brahmacari) Adi Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Pratama Widya
Pasraman atau yang sederajat.
(2) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
(Brahmacari) Madyama Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Adi Widya
Pasraman atau yang sederajat.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
(Brahmacari) Utama Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Madyama Widya
Pasraman atau yang sederajat.
(4) Pendidikan Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam)
tingkat selama 6 (enam) tahun, pendidikan Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3
(tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun, dan pendidikan Utama Widya Pasraman
terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun.
(5) Peserta didik (Brahmacari) pada pendidikan Pasraman
berkewajiban melaksanakan warna asrama dharma.
(6) Acarya atau pendidik membimbing, menuntun, dan
membekali peserta didik (Brahmacari) dengan pengetahuan agama lainnya sesuai
dengan kurikulum.
Pasal 40
(1) Maha Widya Pasraman atau pendidikan keagamaan tinggi
Hindu, diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
(2) Penamaan satuan jenjang Maha Widya Pasraman yang
diselenggarakan oleh masyarakat merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan
yang bersangkutan.
(3) Maha Widya Pasraman diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan tentang pendidikan tinggi dalam Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 41
(1) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal dilaksanakan
dalam bentuk Pesantian, sad dharma yaitu dharmatulla, dharma sadhana, dharma
wacana, dharma yatra, dharma gita, dharma santi atau dalam bentuk lain yang
sejenis.
(2) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal merupakan
kegiatan pendidikan keagamaan Hindu secara berjenjang atau tidak berjenjang
bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama di sekolah formal dalam rangka
meningkatkan sraddha dan bhakti peserta didik.
(3) Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Hindu nonformal
sebagai kegiatan pendidikan keagamaan Hindu berbasis masyarakat,
diselenggarakan oleh lembaga sosial dan tradisional keagamaan Hindu,
dilaksanakan di lingkungan tempat ibadah, balai adat, dan tempat lainnya yang memenuhi
syarat.
(4) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal didaftarkan
keberadaannya kepada Menteri Agama.
Bagian Kelima
Pendidikan Keagamaan Buddha
Pasal 42
Pendidikan Keagamaan Buddha
Pasal 42
(1) Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh
masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk program Sekolah Minggu
Buddha, Pabbajja Samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Buddha
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 43
(1) Pabbajja Samanera merupakan pendidikan nonformal yang
diselenggarakan oleh Sangha atau Majelis Keagamaan Buddha bertempat di
Vihara/Cetiya yang diperuntukkan khusus bagi samanera, samaneri, silacarini,
buddhasiswa, dalam rangka peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan.
(2) Pabbajja Samanera bertujuan untuk menanamkan disiplin
pertapaan sesuai dengan ajaran Sang Buddha dalam meningkatkan kualitas keimanan
umat Buddha.
(3) Pabbajja Samanera dilaksanakan sekurang-kurangnya 2
(dua) minggu.
(4) Peserta didik Pabbajja Samanera meliputi anak-anak, remaja, dan dewasa.
(4) Peserta didik Pabbajja Samanera meliputi anak-anak, remaja, dan dewasa.
(5) Kurikulum Pabbajja Samanera meliputi riwayat hidup
Buddha Gotama, etika samanera, pokok-pokok dasar agama Buddha, paritta/mantra,
meditasi, kedharmadutaan, dan materi penting terkait lainnya.
(6) Pendidik pada Pabbajja Samanera mencakup para
Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Pandita, Pendidik Agama, atau yang
berkompetensi.
Pasal 44
(1) Sekolah Minggu Buddha merupakan kegiatan belajar
mengajar nonformal yang dilaksanakan di Vihara atau Cetya setiap hari Minggu
secara rutin.
(2) Sekolah Minggu Buddha bertujuan untuk menanamkan
saddha/sraddha dan bhakti peserta didik dalam rangka meningkatkan keimanan umat
Buddha secara berkesinambungan.
(3) Sekolah Minggu Buddha diselenggarakan secara
berjenjang atau tidak berjenjang.
(4) Sekolah Minggu Buddha merupakan pelengkap atau bagian
dari pendidikan agama pada satuan pendidikan formal.
(5) Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat bahan kajian
Paritta/Mantram, Dharmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka, Riwayat Hidup Buddha
Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama Buddha.
(6) Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddhis mencakup
Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Samanera/Sramanera, Samaneri/Sramaneri,
Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Bagian Keenam
Pendidikan Keagamaan Khonghucu
Pasal 45
Pendidikan Keagamaan Khonghucu
Pasal 45
(1)
Pendidikan keagamaan Khonghucu diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2)
Pendidikan keagamaan Khonghucu berbentuk program Sekolah Minggu, Diskusi
Pendalaman Kitab Suci, Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu, atau
bentuk lain yang sejenis.
(3)
Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Khonghucu dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 46
(1)
Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci merupakan kegiatan
belajar-mengajar nonformal yang dilaksanakan di Xuetang, Litang, Miao dan
Klenteng, yang dilaksanakan setiap minggu dan tanggal 1 serta 15 penanggalan
lunar.
(2)
Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci bertujuan untuk
menanamkan keimanan dan budi pekerti peserta didik.
(3)
Kurikulum Sekolah Minggu Khonghucu memuat bahan kajian Daxue, Zhongyong, Lunyu,
Mengzi, Yijing, Shujing, Liji, Shijing, Chun Qiu Jing, Xiaojing, Sejarah Suci
Agama Khonghucu, serta Tata Agama/Peribadahan Khonghucu.
(4)
Tenaga Pendidik pada pendidikan keagamaan Khonghucu mencakup Jiaosheng, Wenshi,
Xueshi, Zhanglao atau yang mempunyai kompetensi.
Pasal 47
Pendidikan Guru
dan Rohaniwan Agama Khonghucu adalah pendidikan formal dan nonformal yang
diselenggarakan di Shuyuan atau lembaga pendidikan lainnya dan oleh yayasan
yang bergerak dalam pendidikan atau perkumpulan umat Khonghucu.
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 48
KETENTUAN LAIN
Pasal 48
Seluruh satuan
pendidikan, program, dan kegiatan pendidikan keagamaan diselenggarakan dengan
mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan agama
dan pendidikan keagamaan yang ada pada saat diberlakukan Peraturan Pemerintah
ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah ini atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat dua
tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 51
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 5 Oktober 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 124.
pada tanggal 5 Oktober 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 124.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIKINDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN,
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN,
I. UMUM
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi:
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang".
Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan
bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional
adalah "pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia".
Selanjutnya,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal
37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan
dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut "Pendidikan
Agama". Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama
dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran/kuliah agama.
Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata
pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan
pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan
secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan
formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa
setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang
seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama,
untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru
agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga
kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar
pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh
pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses
pembelajaran pendidikan agama.
Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh
sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu
berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian
tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat
mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai
keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama
di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian
berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal
atau informal.
Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis
masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar,
terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus
mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan
sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen
Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk
berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa,
termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah.
Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan
norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Kurikulum pendidikan agama bagi peserta didik yang
beragama berbeda dengan kekhasan agama satuan pendidikan menggunakan kurikulum
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kerjasama tentang penyelenggaraan pendidikan agama dengan
penyelenggara pendidikan agama di masyarakat memperhatikan kurikulum tingkat
satuan pendidikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Beberapa satuan pendidikan dapat bekerjasama menyediakan
pendidik pendidikan agama.
Ayat (2)
Dalam hal penyediaan pendidik pendidikan agama tidak
dapat dilakukan oleh setiap atau beberapa satuan pendidikan, maka Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah dapat menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan
agama dengan menggabungkan para peserta didik seagama dari beberapa satuan
pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Pemerintah/pemerintah daerah wajib menyalurkan peserta
didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang ditutup ke
satuan pendidikan lain yang sejenis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterampilan mencakup pola-pola pendidikan yang
dikembangkan pada jenis pendidikan kejuruan, vokasi, dan pendidikan kecakapan/keahlian
lainnya.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi
pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan
lainnya.
Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam meliputi
ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah), atau terpadu dengan ilmu-ilmu umum
dan keterampilan.
Ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah) dapat menggunakan klasifikasi tema: aqidah, tafsir, hadis, usul fikih, fikih, akhlak, tasawuf, dan tarikh Islam.
Ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah) dapat menggunakan klasifikasi tema: aqidah, tafsir, hadis, usul fikih, fikih, akhlak, tasawuf, dan tarikh Islam.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pendidik/satuan pendidikan dapat menggabungkan berbagai
muatan pendidikan menjadi satu mata pelajaran atau lebih dalam kurikulum.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi antara lain
Ma'had 'Aly.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Pengajian kitab di dalam pesantren diselenggarakan untuk
mengkaji kandungan Al Quran dan As sunnah dan pemahaman transformatif atas
kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penamaan "diniyah takmiliyah" yang umum dipakai
masyarakat adalah madrasah diniyah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4769
Subscribe to:
Posts (Atom)